Gelombang panas, banjir bandang, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem bukan lagi sekadar berita dari belahan dunia lain. Indonesia kini merasakannya langsung. Dari Jakarta yang kian tenggelam hingga sawah-sawah di Nusa Tenggara yang gagal panen karena kekeringan berkepanjangan, krisis iklim sudah menjadi kenyataan pahit yang kita hadapi bersama.
Namun sayangnya, kesadaran kolektif terhadap krisis ini masih rendah. Banyak kebijakan pembangunan masih mengedepankan eksploitasi alam ketimbang kelestarian jangka panjang. Hutan terus ditebang, emisi karbon meningkat, dan kebiasaan konsumtif masyarakat terus memicu degradasi lingkungan.
Pemerintah memang telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional, mulai dari Paris Agreement hingga komitmen net-zero emission. Tetapi pertanyaannya: sejauh mana komitmen itu benar-benar diwujudkan di lapangan? Apakah kita hanya berhenti pada seremoni dan retorika?
Lebih buruk lagi, masih ada sebagian elite yang menyangkal realitas krisis iklim demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Padahal, setiap hari yang berlalu tanpa aksi nyata akan memperparah kerusakan dan menyempitkan peluang generasi mendatang untuk hidup layak.
Epilog Editorial
Krisis iklim bukan masalah masa depan—ia adalah bencana hari ini. Editorial ini menyerukan kesadaran bersama: bahwa menjaga bumi bukan pilihan, melainkan kewajiban moral. Pemerintah harus berani melangkah lebih konkret, masyarakat harus sadar akan perannya, dan dunia usaha harus bertanggung jawab atas jejak ekologis mereka.
Kita mungkin tak bisa membalikkan waktu, tapi kita bisa menentukan arah. Mari berhenti menunda, dan mulai bergerak—sebelum yang tersisa hanya penyesalan di bawah langit yang menghangus.